Andalan

Tembung Saroja

Tembung saroja iku tembung kang rinakit seka rong (2) tembung kang (mèh) padha tegesé lan bisa nuwuhaké makna kang luwih teges. Bisa maknané perkara kang ana sesambungané, bisa uga kahanan kang mbangetaké.

Tuladha:

  • sato kéwan = perkara kéwan
  • ayem tentrem = tentrem tenan
  • tepa tuladha = tuladha
  • tresna asih = asih tenan
  • colong jupuk = perkara nyolong utawa kagiatan nyolong.

Tugas ngomah:

1)      Adi luhung

2)      Andhap asor

3)      Babak bundhas

4)      Blaka suta

5)      Candhak cekel

6)      Colong jupuk

7)      Darma bekti

8)      Dora cara

9)      Edi peni

10)  Ewuh pakewuh

11)  Gandhes luwes

12)  Gilir gumanti

13)  Icir iwir

14)  Iguh pratikel

15)  Jarah rayah

16)  Jejel riyel

17)  Kadang konang

18)  Kerta raharja

19)  Labuh labet

RUPA FILOLOGIKA LELUHUR JAWA DAN PERKEMBANGANNYA

oleh Didik Supriadi, Pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa UNNES

Pendahuluan

Leluhur Jawa memberi contoh kepada generasinya untuk berkarya secara cerdas. Para cendekia masa lalu mewariskan kebudayaan berpikir dalam bentuk fisik dan non-fisik. Menikmati hasil cipta, rasa, dan karsa para pendahulu dalam berbagai wujud kekhasan mendekatkan asumsi bahwa generasi Jawa ditakdirkan menjadi kelompok masyarakat yang aktif, kreatif, dan inovatif dalam segala hal. Dimulai dari karya atas kebutuhan dasar (primer) sampai dengan karya-karya sekunder yang hampir merata memiliki etika dan estetika bangun memberi asumsi atas kehidupan berkarya masyarakat Jawa tidak mampu diremehkan.

Bukti-bukti atas kecendekiaan personal atau sekelompok manusia di Jawa ini mampu diwujudkan dalam berbagai temuan artefak yang disimpan oleh Museum Ranggawarsita. Salah satu rupa temuan tersebut adalah manuskrip yang memuat dokumentasi ketajaman berpikir para cendekia Jawa yang konsisten, mapan, dan berbobot. Manuskrip Jawa kuna (Sriwijaya) sekitar abad 9 dalam wujud gancaran dan kakawin, Jawa pertengahan (Majapahit) dalam wujud prosa dan kidung, Jawa baru (kerajaan Islam) pada abad 15 dalam serat dan gancaran ditemukan dalam wujud baik dan mampu memberikan informasi atas masing-masing kehidupan yang telah berjalan. Sistem pemerintahan yang kuat dan selera kehidupan masyarakat mendukung kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh Bangsa Jawa.

Karya-karya tulisan tangan yang disebut manuskrip ini, pada Museum Ranggawarsita termasuk dalam koleksi filologika. Para ilmuan filologis mancanegara dan domestik memberi pedoman yang jelas untuk mengkategorikan khasanah hasil budaya ini. Kategori tersebut berisi tulisan tangan dalam berbagai variasi huruf, bahasa, teknis penulisan, media yang digunakan, tanda-tanda semiotis yang disusun dalam wujud naskah pada kertas, daun lontar, kulit kayu, rotan dan dawulang, dan (mungkin) prasasti. Pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang khusus (filolog) untuk mendalami keaslian benda-benda warisan ini berkontribusi atas keaslian teks. Pekerjaan yang meliputi (a) penentuan objek kajian, (b) pencatatan dan pengumpulan naskan, (c) mendeskripsikan naskah, (d) mengadakan deskripsi naskah, (e) rekonstruksi teks dan penyimpanan, dan (f) penerjemahan atas naskah yang memuat sejarah, silsilah, hukum, sastra, piwulang, primbon, ilmu bahasa, musik, tari-tarian, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan keislaman, menunjukkan bahwa berbagai wujud manuskrip dikelola oleh para filolog di Museum ini.

Kontribusi atas Perawatan dan Pewarisan Manuskrip Jawa

Perawatan rupa filologika karya leluhur Jawa mengandung pengukuran kualitas karya. Simpulan atas kualitas karya tersebut adalah best of the best. Hal terserbut didasarkan atas tingkat originalitas struktur yang berkualitas tinggi dan mapan. Bangga mampu melihat karya masa lalu. Karya-karya besar original menjadi materi kajian yang belum mampu terselesaikan sampai sekarang. Artinya, hal ini adalah kerja keras yang luar biasa dari para filolog yang telah memperlakukan manuskrip-manuskrip ibarat bayi yang memerlukan perhatian dan kehati-hatian. Catatan-catatan sejarah dan khasanah kebudayaan mampu terjaga dan terbaca dengan baik.

Pewarisan rupa filologika karya leluhur Jawa kepada generasinya tampaknya selalu dilakukan dengan baik. Motif-motif penulisan yang gradatif, misalnya karya Kakawin Arjunawiwaha yang memiliki motif seirama dengan Kidung Wiwaha Jarwa dan Serat Parta Krama pada kebudayaan menulis menggunakan metrum menguatkan dugaan bahwa pewarisan kebiasaan menulis masyarakat Jawa telah dilakukan sejak masa lalu. Sekarang ini, tampaknya, hasil manuskrip ini pun berusaha diwariskan kepada generasinya. Berbagai upaya dilakukan untuk mengenalkan hasil kerja keras para filolog yang telah menyelamatkan manuskrip-manuskrip dari pergeseran masa. Telah dikukuhkan peraturan-peraturan (misalnya, Perda Provinsi Jateng Nomor 9 tahun 2012, kurikulum pembelajaran yang memuat sastra-sastra Jawa) yang mampu meningkatkan fungsi strategis benda-benda filologika.

Pelestarian Manuskrip Jawa

Kebudayaan menulis yang memiliki karakter khusus (misalnya: metrum serat, syiir, parikan, wangsalan, dll) pada beberapa personal atau kelumpok masyarakat telah dilakukan. Bahkan, pada masa sekarang ini, beberapa wujud serat dan syiir masih diproduksi sesuai dengan perkembangan zaman. Teks-teks yang masih diproduksi dengan motif-motif tulisan masa lalu membuktikan kaitan batin yang berkesan atas manuskrip-manuskrip yang telah dirawat oleh para filolog. Pengembangan naskan dengan motif serat misalnya, kakawin Gajahmada yang disusun jauh dari masa kehidupan sastra tersebut, kidung Panglilih (Widodo Brotosejati) yang disusun jauh dari peradabannya, Syiir-Syiir karya Gus Dur dan para santri terkemuka yang lain, membuktikan bahwa karya ini masih bertahan dan menarik.

Perkembangan dan Kontribusi Naskah

Fasilitasi atas pengembangan wujud-wujud manuskrip yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok masyarakat perlu direspons para pemangku kebijakan-kebutuhan sebagai semangat awal dalam pemertahanan sendi-sendi kebudayaan. Melalui kebijakan-kebijakan yang mengarah pada pelestarian (misalnya: muatan lokal renaissance/pemunculan kembali naskah lontar) benda-benda kuno menjadi hal yang lazim dipelajari, maka pada akhirnya akan memperkuat pertahanan kebudayaan dengan membagikan tanggung-jawab pewarisan kepada generasi ini.

Hal ini perlu dilakukan, karena kontribusi besar naskah-naskah tersebut terhadap perkembangan negara. Kontribusi tersebut misalnya, para negarawan Indonesia saat membentuk negara banyak mempelajari Kitab Sutasoma, Negarakartagama; karakter Hastabrata yang digunakan pada kedinasan kemiliteran, obat-obatan yang dikembangan oleh perusahaan Jamu herbal nasional, dan lain sebagainya. Atas tilikan tersebut, betapa berharganya manuskrip-manuskrip kuna itu. Sampai saat ini, mungkin saja masih banyak naskah-naskah yang masih tersimpan tanpa mampu terbaca. Sebaiknya, janganlah memosisikan manuskrip-manuskrip itu sebagai jimat, namun perlulah dirawat sebagai hasil karya pusaka yang perlu dirawat, dibuka, dibaca, dan disampaikan kepada anak, cucu, penerus bangsa.